Postingan Kesembilan : Don't Let Him Control Your Emotion (even worse, control your life)

satu hal penting
yang kusadari saat sedang
tergila-gila pada seorang ikhwan
adalah jangan biarkan dia
mengontrol perasaan kita

Sebenarnya aku gak ingat pertama kali bertemu itu kayak gimana. Yang ku ingat waktu ada acara menginap, aku bangun tidur dan berjalan hendak menghampiri temanku, dan saat itulah mata kami bertemu. Aku memandanginya entah berapa lama, karena dia langsung mengalihkan pandangan, dan aku pun teringat akan niatku pertama kali; mencari teman untuk menemani ke wc.

Setelahnya, melihat dia yang begitu keren dan good-looking, aku makin-makin suka memperhatikannya. Enggak, gak dekat sama sekali. Aku bahkan yakin dia gak tahu namaku. Aku cuma suka memperhatikan dari jauh.

Satu tahun kemudian, qadarullah, aku dan dia menjadi panitia sebuah acara. Dari situlah, kurasa, dia baru mengetahui namaku. Aku gak tahu dia ingat kejadian yang kuceritakan sebelumnya atau enggak, tapi yang pasti, sejak kerja bareng, kami jadi saling kenal.

Buatku, dia itu interpretasi paling cocok untuk lagu-nya Adele, When We Were Young.

Everybody here
is watching you,
cause you feel
like home,
you're like a
dream come true

Karena memang dia itu tipe cowok yang banyak fans-nya. Kece iya, good-looking iya, pinter iya, pokoknya ... perfect gitu, deh! Dan di antara para fans nya yang bejubel, ada aku di sana. Yang masih asyik memperhatikan dari jauh.

Sejak dulu, sebenarnya aku tahu dia punya instagram. Tapi baru punya nyali untuk follow duluan setelah kami selesai jadi panitia sebuah acara. Acara itu memang ya ... sebut aja bikin kami makin dekat. Apalagi, saat acara itu berlangsung, aku sempat gak enak badan, dan teman-temanku yang jadi informan mengatakan bahwa dia ... kayak ... peduli dan perhatian gitu(?)

Nah, usai jadi panitia acara, usai follow instagram dan difollow back, di sana lah kebodohanku mulai merajalela. Karena kami gak pernah bertemu lagi setelah acara, akhirnya satu-satunya cara untuk tahu kabarnya adalah dari instagram.

Setiap hari, aku selalu menyisihkan waktu buat nonton snapgramnya. Kalau belum puas, aku stalk instagramnya sampai pos paling pertama. Belum puas juga, aku tonton ulang snapgramnya.  Setiap hari aku selalu nunggu snapgram dia. Nunggu setiap update-an dari dia. Bahkan meski cuma foto yang gak nampak wajah dia, rasanya lega ajaaa gitu kalau dia udah bikin snapgram.

Sekalinya gak bikin? Wihh ... uring-uringan. Selalu merasa ada yang kurang. Selalu merasa  hari ini tuh, gak nyaman rasanya. Dan kesel sendiri, karena dulu yang aku mau tahu tuh cuma, dia baik-baik aja apa engga?

Lebay banget gila, tapi itu beneran. Aku tuh se-khawatir itu kalau dia gak bikin snapgram.

Rasanya gimana? Capek banget. Dan merasa kayak orang bodo. Kebayang gak sih, emosi, sesuatu yang menurutku paling penting dalam menjalani aktivitas sehari-hari, justru dikontrol sama hal remeh berupa snapgram. Kalau dia bikin snapgram, aku jadi seneng. Jadi semangat. Kalau dia gak bikin, rasanya galau ajaa gitu seharian. Lagi sekolah, kepikirannya dia. Mau apa-apa, mikirinnya dia. Kayak lagunya Maia Estianti, gitu.

Aku mau makan,
ku ingat kamu
Aku mau tidur juga
ingat kamu

Sebegitu kuatnya snapgram dia ngontrol hari-hari aku. Dan, bodohnya, aku biarin aja. Aku kasih permission, aku kasih izin buat ngontrol hari-hariku. Gak aku lawan. Gak aku tahan.

Dan barulah setelah beberapa minggu, aku mulai menyadari. Mulai merasa capek. Mulai balik lagi ke normal sense. Aku gak mau emosiku, perasaanku, dikontrol orang lain. Titik. Hari-hari selanjutnya, kuhabiskan menahan diri yang sedang puasa buka instagram.

Yup, aku memilih solusi dengan gak buka instagram sama sekali. Sekaligus kembali ke hal yang memang sudah seharusnya kufokuskan sejak dulu. Aku memberi challenge ke diri sendiri. Kalau ada ulangan harianku yang dapat nilai 100, aku boleh buka instagram, dalam 24 jam.

Dan alhamdulillah, aku cukup teguh pendirian. Aku tidak iseng buka-buka instagram. Meski suka pinjam instagram teman buat liat snapgramnya. Tapi ... cuma 1-2 kali lah. Udah gitu mulai teguh lagi. Gara-gara hal ini, setiap mau ulangan harian aku belajar mati-matian. Nilainya naik, tapi tetap belum memenuhi angka sempurna.

Barulah ketika di akhir semester, guru membagikan nilai ulangan. Matematika dan Fisika, dapat 100. Dengan rasa senang luar biasa, aku membuka instagramku, setelah .... mungkin 1 bulan lamanya off darinya.

Wow. Sensasinya, gaiiiiss. Berasa janggal, berasa aneh pas kembali buka instagram. Begitupun pas buka snapgram dia untuk pertama kalinya. Berasa kayak ... eh, kok, gini ya?

Dari situlah, aku merasa sudah berhasil move on. Dan akhirnya peraturan 1 nilai 100=24 jam pun buyar. Aku buka instagram sesuka hati. Selama apapun yang kumau. And everything was fine back then. Aku gak baper, gak galau nungguin snapgram lagi. Sudah mulai biasa, dan justru merasa asing lihat instagram lagi.

Nah, barulah di sini. Kebodohan masa dahsyat yang aku lakukan. Kami gak dekat. Aku bahkan segan, sejujurnya. Tapi saat itu, kuberanikan diri untuk membalas snapgramnya. Dan di situlah, move on-ku perlu mulai lagi dari nol.

--bersambung ke sini-->

Komentar

Postingan Populer